Tuesday, November 5, 2013
Monday, November 4, 2013
TRAVELLING NOW : KALIMANTAN TIMUR > Sinar Lembayung di Rantau Layung
Senin pagi, 14 Oktober 2013, kami semua sudah harus bersiap-siap untuk berangkat ke desa Rantau Layung, tujuan kedua kami setelah desa Kasungai… Perjalanan menuju desa Rantau Layung sebenarnya bisa dilalui lewat jalan darat dan sungai, namun kita memilih akses melewati sungai Kasungai karena sungai tersebut lebih dekat dengan lokasi penginapan.. Karena bawaan kami berempat segambreng (saya, mbak Merta, Ntong dan Pak Wijaya), dan alat transportasi yang ada cuma 2 motor aja, jadi kami mesti bolak-balik ambil dan taruh barang bawaan dari penginapan ke sungai Kasungai dimana perahu ketinting kami berlabuh.. Soalnya kalo dibawa dengan jalan kaki lumayan juga sih, jaraknya sekitar 300 meter.. Setelah pengecekan terakhir bawaan kami udah lengkap semua, pukul 9.30 WITA kami berangkat dengan 2 perahu ketinting yang kami sewa di malam sebelumnya seharga 1 juta rupiah / ketinting.. Tiap ketintingnya cuma dapat menampung kapasitas 4 orang saja karena barang bawaan kami luaaaaar biasa banyaknya (hehehe), jadi ketinting pertama dinaiki oleh saya, mbak Merta, pak Timbel, dan asistennya.. dan ketinting kedua dinaiki oleh Ntong, pak Wijaya, pak Blessing dan anaknya..
![]() |
Saya dan teman-teman lagi bersiap-siap... (Mmm, tepatnya saya lagi ngaso deh itu... xD ) |
![]() |
Liat deh tas bulsak merah di atas ketinting... GEDE BUANGEET! |
![]() |
Mbak Merta, mumpung masih rapi eksis dulu sebelum basah-basahan :p |
![]() |
Kalo yang ini ketinting udah jalan pun masih sempet-sempetnya ambil foto! |
Ketinting itu sebenarnya seperti perahu dari kayu, cuma bentuknya langsing dan memanjang. Kaki kita cuma bisa selonjoran saking sempitnya dan kita ga boleh banyak bergerak karena ketinting sangat sensitif responnya, kalo gerak dikiiiiit aja bisa miring2 gitu.. Untung saat itu sedang musim kemarau, jadi sungainya lagi surut dan dangkal, kedalamannya aja cuma sedengkul rata-rata, yaaah paling dalam pun setengah paha lah... Kata pak Timbel, kalo lagi musim penghujan, kedalaman sungai Kasungai ini bisa sampai 3 meter!! Tapi masing-masing musim punya kelebihan dan kekurangannya sendiri, kalo musim hujan meski kedalaman airnya cukup dalam, tapi perjalanan ke desa Rantau Layung jadi lebih lancar karena tidak ada hambatan seperti batu-batu besar, jadi hanya butuh waktu 4 jam aja untuk sampai ke tujuan.. Cuma ya ngerinya kalo arus lagi kencang dan keadaan ketinting lagi ga stabil dan kemudian kapal oleng, yang ditakutkan adalah tenggelam terbawa arus kuat dari sungai Kasungai.. Nah, kalo musim kemarau kedalaman airnya jadi dangkal banget, cuma sekitar 1 meteran tapi batu-batu kalinya jadi muncul di permukaan yang membuat kita harus sering-sering turun dari ketinting dan menariknya bersama-sama.. Belum lagi banyak ditemui riak-riak dengan arus yang cukup deras dan mengharuskan kita MENGANGKAT ketinting biar bisa naik melewati riaknya.. Di bagian sini lah yang jadi pe-er. Sebelum mengangkat ketinting melewati riak, kita harus BONGKAR MUATAN mindahin semua barang yang ada di ketinting ke pinggir sungai biar ketinting lebih ringan untuk diangkat.. dan kalian tau barang-barang anak Jejak Petualang kalo lagi liputan sebanyak apa kaan?? Muahahaha… Itulah yang menguras waktu perjalanan menjadi lebih lama.. Bayangin aja, yang harusnya bisa ditempuh hanya selama 4 jam aja, pas kita liputan kemarin waktu tempuh dari desa Kasungai hingga ke desa Rantau Layung butuh waktu 9 JAM!!
![]() |
Pak Timbel, sang Juru Batu |
![]() |
Ini penampakan Ketikai... SUMPAH ENAK BGT! :9 |
Kita langsung melanjutkan perjalanan habis makan siang sekitar pukul 13.00 WIT karena perjalanan masih lumayan jauh, baru setengah perjalanan! Setidaknya kita sudah melewati riak, tantangan terbesar di sungai ini, jadi kedepannya kita ga perlu lagi bongkar muatan perahu.. Begitu setidaknya kata pak Timbel, saya dan mbak Merta sedikit bernapas lega, seakan tantangan terberat sudah lewat, kita tinggal duduk manis di ketinting.. Tapi ternyataaaa… Justru setelah melewati riak banyak batu-batu kecil yang mengharuskan kita turun dari ketinting dulu agar perahunya bisa jalan.. Ga cuma sekali dua kali men kita naik turun ketinting, tapi udah ga bisa diitung lagi berapa kalinya sampai-sampai kita jadi jeli setiap lihat sungai yang dangkal, kita langsung spontan turun dari ketinting! Padahal ga diminta turun juga sama pak Timbel, Hahaha… Anyway, di setiap ketinting ada dua awak perahu yang mengemudikannya.. Yang dibelakang namanya Juru Kemudi, tugasnya mengendalikan mesin dan arah perahu ke kanan atau ke kiri.. Sementara yang di depan namanya Juru Batu, tugasnya mengarahkan juru kemudi kemana arah terbaik perahu akan diarahkan.. Mungkin dinamakan juru batu juga karena tugasnya menghindari batu-batu yang akan menabrak perahu di depannya.. Keduanya harus bekerja secara sinergis, saling percaya.. Kalo Juru Batu bilang ke kanan, ya itulah arah terbaik kemana perahu itu sebaiknya mengarah... dan Juru Batu-lah yang paling pertama tahu dimana ada batu yang menghadang dan kapan perahu harus berbelok karena posisinya berdiri di paling depan sisi perahu..
Hingga suatu kali pak Timbel, Juru Batu di perahu saya tiba-tiba berteriak, “TURUN! TURUN! PERAHU AKAN TENGGELAM!”, Sontak kami semua kaget dan ga mengerti apa yang terjadi!! Keadaannya benar-benar serba cepat saat itu.. Hanya butuh waktu sekian detik setelah pak Timbel berteriak dan loncat dari ketinting, saya kemudian tahu ketinting menabrak batu besar dan ketinting yang kami naiki perlahan-lahan TENGGELAM! Yang paling kena imbasnya adalah bagian paling belakang karena menanggung beban yang paling besar, jadi bagian belakang tenggelam lebih dulu.. Saya langsung loncat mengikuti pak Timbel, dan spontan saya lihat ke belakang, rupanya karena jarak yang cukup jauh teman-teman di belakang tidak jelas mendengar teriakan pak Timbel.. Mbak Merta yang duduk menghadap belakang dan badannya tiba-tiba tenggelam se-pinggang langsung panik dan bertanya-tanya, “Ada apa?? Ada apa??” lengkap dengan muka bingungnya.. Sampai sekarang saya masih suka ketawa kalo inget kejadian itu.. Mbak Merta yang udah seharusnya tau perahu tenggelam mengisi ketinting hingga sepinggangnya tapi dia masih nanya ada apa? ada apa? Kocak banget! Mungkin karena saat itu dia sedang menghadap ke belakang jadi ga tahu apa yang sebenarnya terjadi di depan, dan spontan kata-kata itu terucap.. Untung saat itu sungai ga begitu dalam, cuma setengah paha aja.. Jadi kami cuma bisa menertawai diri kita sendiri dari kejadian ini, dan sayalah yang tertawa paling keras saat itu… Tidak ada yang rusak atau terluka dari kejadian ini, namun pelajaran yang berharga lah yang kita dapatkan (+ tawa yang tak henti-hentinya kalo inget momennya Mbak Merta.. bwahahaha)
Surutnya air tapi tidak menyurutkan semangat kami untuk mendapai desa Rantau Layung karena selama perjalanan disuguhkan pemandangan yang luar biasa! Hutan asli yg belum terjamah oleh modernisasi yang sesekali banyak dijumpai hewan yang menampakkan diri di pinggir sungai seperti bekantan.. Bekantan yg saya temui disini ukurannya kecil, hidungnya pun tidak terlalu besar dan sebagian badan depannya berwarna pink.. Jumlahnya cukup banyak, apalagi saat sore hari dimana mereka mulai mencari makan... Selain itu juga ditemui monyet, elang, burung hantu, burung rangkong, ular, dan banyak sekali jenis burung-burung cantik berwarna-warni dengan beragam suaranya yg merdu menemani perjalanan kami menyusuri sepanjang sungai Kasungai.. Sungainya tampak jernih dan karena saat itu sedang dangkal, kita jadi bisa melihat ikan berenang-renang dari atas ketinting..
Sudah ga terhitung deh berapa kali kita naik turun ketinting karena keberatan muatan jadi saya tuker aja sepatu dengan sandal biar lebih mudah naik turun ketinting.. Tapi ternyata jalan di bebatuan sungai dengan alas kaki bikin kita mudah terpeleset karena kontur dasar sungai ga rata soalnya terdiri dari batu-batuan kecil.. Akhirnya saya dan mbak Merta lepas sandal pula biar cepet jalannya.. (tapi kemudian ga lama setelah itu kami berubah pikiran.. Kelamaan ga pake sandal menyusuri dasar sungai yang berbatu lama-lama bikin kaki sakit juga.. hahahaha)
Kombinasi panas terik matahari, jalan menyusuri sungai berbatu saat turun dari ketinting dan lamanya berada diatas ketinting benar-benar menyebabkan kami agak kelelahan hari itu.. Padahal kalo disusuri lewat jalur darat, desa Rantau Layung dapat dicapai dalan waktu 2 jam dari desa Tanah Grogot, ibukota kabupaten Pasir.. Saat sudah lelah dan sudah bosan mengira-ngira kapan kita akan sampai di desa tujuan, akhirnya pak Timbel sang Juru Batu nyuruh Juru Kemudi untuk berhenti, kemudian turun dari ketinting dan naik ke atas.. Ada tangga kayu menuju ke atas di sebelah kiri jalan! Sekilas ada rumah kayu juga terlihat dari bawah sini.. Kita tanya aja deh pada Juru Kemudi apakah sudah sampai di desa Rantau Layung atau belum.. Langit juga sudah mulai gelap dan menjelang magrib saat itu, jawabnya simpel : IYA!
Sontak saya dan reporter saya, mbak Merta, langsung turun dari ketinting dan joget-joget kegirangan!! Ga peduli deh diliatin orang atau nggak, tapi jogetan kita itu cukup bikin ilfil memang kalo ada orang yg liat, hahaha! Si Ntong dan pak Wijaya masih jauh dibelakang dari kita, jadi sambil menunggu mereka kita juga menunggu berita baik dari pak Timbel saat turun ke bawah nanti..
Seketika saat pak Timbel turun, pengharapan kami adalah memang ini tempat tujuannya, desa Rantau Layuuuung.. Tapi ternyata dugaan kami salah! Desa tersebut masih jauuuuuh lebih ke dalam lagi.. Huwaaaaa... Seketika kami kembali lemas! Hiks!
Tapi alhamdulillah desa yg kita tuju sebenarnya cuma berjarak sekitar 500 meter atau 5 menit saja dari situ.. Pada pukul 18.30 WIT, disambut dengan sinar lembayung sore itu, akhirnya kami sampai di desa Rantau Layuuuuuungg!! Sujud syukuuuuurrr ya Allah… 9 jam perjalanan akhirnya berhasil dilalui tanpa ada hambatan berarti, cuma somplak aja nih badan naik turun ketinting ratusan kali… wkwkwk!
Dari 9 JAM perjalanan kami menuju desa Rantau Layung, saya benar-benar salut pada Juru Batu dan Juru Kemudi kedua ketinting yang mengantarkan kami.. Bahkan Juru Batu dari ketintingnya Ntong dan Pak Wijaya masih sangat muda! Umurnya baru sekitar 15 tahun (!!!), tapi udah menggeluti pekerjaan sekeras itu.. Namun yang paling menarik perhatian saya adalah Juru Batu di ketinting saya, Pak Timbel.. Usianya sudah tak bisa dibilang muda lagi, mungkin sekitar 50 tahunan, tapi ia masih kuat dan tetap semangat mengayuh ketinting, mendorong ketinting dari batu-batu besar yang hendak menghantam hanya dengan sebatang kayu, dan itu dilakukannya selama 9 JAM!! Saya aja yang kerjaannya cuma naik turun ketinting saat sungainya cetek aja merasakan lelah yang bukan maiiiiin... Apalagi yang dirasakan oleh pak Timbel.. Dan yang lebih shocking, malam hari setibanya kami di desa Rantau Layung mereka pulang lagi ke desa Kasungai.. MALAM ITU JUGA! Saya jadi nyesel ga sempet mengucapkan salam perpisahan sama pak Timbel dkk. karena malam itu kami lagi sibuk memindahkan barang-barang... Yang jelas, saya berterima kasih sekali dengan mereka, terutama pak Timbel.. Yang sabar dan kuat banget, menggeluti pekerjaan juru batu bertahun-tahun... This is my video specially made for Pak Timbel.. :')
Setibanya di desa tujuan (yang sebenarnya!), kami langsung menemui kepala desa.. Ternyata kepala desanya masih muda euy.. Dan salahnya kita, kita belum adakan koodinasi dengan aparat desa untuk liputan disana, jadi sambutannya agak kurang welcome.. Pak kades bilang kalo ga ada surat perintah dari kabupaten, lebih baik kita pulang saja.. Wakks!! Belum tau perjalanan kita seharian ini bikin badan somplak!.. Tapi dengan segala cara dan upaya akhirnya kita berhasil meyakinkan pak kades untuk bikin liputan disini.. (Ini nih salah satu ujian kita kalo lagi liputan.. Kadang ketemu dengan narasumber yang welcomeee banget, tapi ga jarang juga ketemu orang yang introvert yang mesti dilakukan pendekatan dulu baru akhirnya bisa diajak kerja sama…)
Setelah akhirnya diizinkan untuk liputan di desa ini dan bermalam di rumah pak kades, kami memindahkan muatan dari ketinting ke tempat kita bermalam.. Awalnya kita ditawari untuk tinggal di rumah baru hasil sumbangan Pemerintah Kabupaten (dikenali bgt dengan warnanya yg ungu meriaaaahh..), namun pak Kades bilang untuk MCKnya masih belum bisa digunakan karena airnya belum mengalir.. Akhirnya kita memutuskan untuk tinggal di rumah pak Kades, meskipun ia tampaknya agak sedikit kurang welcome sama kita.. Selesai membereskan barang-barang yg segede gaban banyaknya, kita semua langsung mandi karena abis berjibaku berlayar di sungai Kasungai selama 9 jam, kotor dan bau bener deh! Hehehe...
Malam harinya, kita mencari bahan-bahan makanan untuk persediaan selama tinggal disini dan ternyata di desa Rantau layung pada setiap malam Seninnya ada penjual kebutuhan rumah tangga yang datang jauh-jauh dari Tanah Grogot menggunakan mobil pick up.. Penjual-penjual ini menjajakan apa yg banyak orang butuhkan dalam sehari2, seperti buah-buahan (mangga, semangka, apel, dsb), ikan tongkol, ayam broiler, sayur-sayuran (tomat, kol, sawi, wortel, dll), bumbu dapur, terigu, gula, garam, dan masiiiiiihh banyak lagi kebutuhan dapur mama-mama disini.. Ada lagi penjual disebelahnya yg menjajakan barang2 kebutuhan rumah seperti gunting, obat-obatan, kosmetik, sendal, buku, pulpen, pensil, dan benda2 lainnya yg fungsional.. Mirip toko kelontong berjalan deh! Nah, kami borong banyak malam itu.. Saya rasa bapak penjual untung banyak malam itu karena kita borong ga kira-kira! Impulsif banget apa yang diliat pingin dibeli, hahaha…
Selesai belanja kebutuhan dapur, kami diundang pak Kades untuk makan malam dengan seluruh warga desa di balai desa..Saya baru tau, di kabupaten Paser, tiap desa disana diberikan sapi kurban masing-masing 2 ekor, dan warga desa Rantau Layung (anehnya, menurut saya..) justru memotong sapi-sapi tersebut di H-1 sebelum Idul Adha dan malam harinya, dimasak untuk dimakan bersama-sama dengan seluruh warga desa.. Kebetulan kami emang lagi lapar ganas sih, jadi ditawarin makanan ga akan nolak juga, hahaha... Ternyata begini sistem pembagiannya, setelah sapi-sapinya dipotong, dagingnya dibagian ke seluruh warga desa secara merata, kemudian tulang, jeroan dan iganya dikumpulkan jadi satu untuk kemudian dimasak dan dimakan bersama seluruh warga desa di malam harinya.. Fair and square, beda sama sistem pembagian kurban di kota-kota besar yg bahkan bisa habis sampai ke buntut2nya! Hihihi…
Jadi malam itu kami disuguhkan sop iga kuah bening dengan rasa asam yg berbeda karena asamnya didapat dari buah yg banyak ditanam di tanah desa ini, buah Tekalo! Buah tekalo banyak ditanam di pekarangan rumah tiap warga dan rasa asamnya yg khas dan segar membuat sup iga yg disuguhkan beda rasanya... Kebayang kalo di Jakarta, tiap mangkuk sup iga yg disuguhkan mereka bisa seharga 50ribu kali!! Abis porsinya besaaaaaar banget! Saya aja sampai susah beranjak pulang dari sana karena ketagihan sama sup iganya, hahaha… (Emang doyan makan aja lo, Naaa…)
![]() |
Baru dateng langsung ditawarin makan sup iga gratis, siapa nolak??! xD |
Akhirnya, karena kita harus istirahat untuk isi tenaga buat syuting besok, kami izin untuk pulang dan beristirahat untuk persiapan liputan besok.. Ohya, malam itu adalah malam takbiran Idul Adha loh! Besok Idul Adha!! Ini adalah kali pertamanya saya merayakan Idul Adha jauh dari keluarga.. Saya terlahir dari keluarga yang menjunjung tinggi kebersamaan di waktu-waktu penting seperti bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, dan ulang tahun pun sebisa mungkin bersama keluarga.. Karena masing-masing dari kami sudah punya kesibukan sendiri-sendiri, jadi hari-hari penting seperti itulah yang menjadi waktu berharga kami untuk berkumpul bersama… Makanya, sedih sih sebenarnya lebaran begini jauh dari keluarga, tapi yah namanya resiko kerjaan and I love my job, anyway! Jadi malam ini saya merayakan malam takbiran bersama teman-teman JP yang sudah saya anggap keluarga sendiri.. Untung setiap kami liputan ke pedalaman kami selalu dibekali telepon satelit, jadi kami bisa menghubungi keluarga masing-masing saat hari raya Idul Adha nanti..
Listrik yg ada di desa ini menggunakan tenaga diesel yg hanya tersedia selama 4 jam dari jam 6 sore hingga 10 malam.. Namun karena malam itu adalah malam takbiran Idul Adha, waktu nyalanya listrik menjadi lebih panjang menjadi jam 12 malam.. Setelah menggelar sleeping bag di ruang tengah, saya dan mbak Merta ngobrol-ngobrol sejenak tentang rencana liputan kita besok dan lama-kelamaan pun kami terlelap diiringi suara takbir yang berkumandang malam itu..
Sunday, November 3, 2013
TRAVELLING NOW : KALIMANTAN TIMUR > The Pilot
Sabtu 12 Oktober 2013 menjadi hari keberangkatan tim Jejak Petualang ke Kalimantan Timur.. Kali ini saya jalan dengan tim yang baru lagi.. Belum pernah jalan bareng sebelumnya, but I really loveeeee this team! Mereka udah saya anggap keluarga karena selama trip ini kita jalanin susah seneng bareng2… Reporternya adalah mbak Merta (@memertaa) dan Campers saya adalah mas Irfan (@irfanfadli7) atau saya biasa manggilnya Ntong, karena dia anak betawi asli (cuma saya lupa nanya dia kenal ama si Doel anak sekolahan atau nggak…)
Mbak Merta itu tipikal reporter yang heboh, seru dan imajinasinya luar biasa tinggi.. Berbeda lah sama saya yang kalem, anggun dan manis manja hahaha… NOPE! She is so like me… Kita sama-sama heboh, seru dan penuh imajinasi tinggi.. Makanya selama liputan ga susah beradaptasi dengan orang baru kayak mbak Merta.. Karena pikiran kita sama! Apalagi kalo udah urusannya ngerjain orang… Kita sama-sama iseeeeng bukan main.. dan yang suka kita godain selama trip di Kalimantan ini, ga lain dan ga bukan, adalah fixer kita, Pak Wijaya... Hahaha
Ohiya, udah tau kan istilah orang-orang yang terlibat dalam liputan.. Ada yang namanya FIXER dan NARASUMBER.. Fixer itu adalah seseorang yang memastikan semua hal tentang liputan, mulai dari materi liputan, lokasi, akomodasi dan informasi dalam keadaan terkontrol.. Biasanya, sebelum tim JP tiba di kota liputan, kita koordinasikan dulu dengan fixer apa aja yang seru buat diliput dari Jakarta.. Begitu udah cocok dan fix materinya, kita berangkat, ketemu fixer di kota liputan dan fixer pun setia menemani kita selama trip.. Nah beda lagi dengan narasumber. Narasumber adalah orang yang memberikan informasi lebih spesifik, biasanya tiap segmen narsumnya beda-beda.. Misalnya, saya liputan mencari ikan cakalang dengan Pak Michael, sang nelayan lokal yang udah puluhan tahun melaut di perairan Biak… Pak Michael inilah yang disebut sebagai narasumber…
Daaaan, fixer kita di Kalimantan Timur kali ini adalaaah Pak Wijaya!! Pak Wijaya ini sebenarnya adalah seorang dosen dan peneliti di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman.. Dia udah pernah menemani tim JP liputan saat Ekspedisi Borneo sekitar bulan Maret 2013 lalu, yang hostnya mbak Indrayani Laksmi.. Sempet eksis juga sebagai narasumber di beberapa episode JP Ekspedisi Borneo edisi Dayak Kenyah misalnya, dan akhirnya tim JP bertemu lagi dengannya, tapi kali ini saya sebagai hostnya…Pak Wijaya ini orangnya pintar, berisi, dan penuh dengan kalimat-kalimat bijak kalo bertutur kata.. Setiap dia ngomong, bisa kali dibikin buku dari kalimat-kalimat bijak yang dilontarkannya.. Cuma ya ituuu, kadang kalo jayusnya lagi kumat bikin kita-kita gatel banget buat godain... Tingkah lakunya terkadang absurd dan diluar nalar tapi justru itu yang bikin dia lucu.. Intinya, dia orang yang cerdas dan filosofis pemikirannya namun humble dan down to earth dengan kelucuannya..
Nah! Pak Wijaya, sangaaat dekat sekali dengan campers saya yang satu ini, NTONG! Si anak betawi yang satu ini, ga kalah anehnya.. Sebenarnya sulit sih mendeskripsikan Ntong ini.. Dia itu dibilang pendiem kagak, rame banget juga kagak.. karena kadang-kadang dia diem, kadang suka teriak2, tapi kadang aliiiim banget.. Ntong ini anaknya solatnya rajin dan tepat waktu, apalan surat-suratnya juga kuat.. Maklum, dia anak pesantren Madrasah Tsanawiyah! Malahan pernah nih, waktu kita lagi liputan di pedalaman dan tengah melaksanakan solat Idul Adha di desa Rantau Layung, namun mungkin karena lagi khilaf sang imam melakukan kesalahan dalam mengucap bacaan surah, dan Subhanallah! kemudian dikoreksi sama Ntong saat itu juga.. Dari shaf belakang sih saya mendengar suara koreksinya sayup-sayup, namun suaranya khas agak serak-serak.. itu pasti suara campers gue, M. Irfan Fadliiiii… Banggaaaa! xD
Ohya, ngomong2 driver kita di Kaltim kali ini adalah bang Ipansyah.. Dia adalah salah satu driver yang paling cool yang pernah saya temui karena disaat dia tidak menemani tim Trans 7 liputan, dia bekerja di BASARNAS Kaltim di bagian Save n Rescue.. is it cool, or what?! Bahkan, bang Ipan udah punya license diving kelas Rescue, bukan Open Water lagi! Jadi kalo diajak ngomongin soal diving, dia nyambung banget!
Kami semua memulai perjalanan dengan janjian seperti biasa di kantor TRANS 7 pada pukul 4 pagi.. YES! Pagi-pagi buta, I know! Karena semua itu udah direncanakan sama reporter saya, kita ambil jadwal penerbangan sepagi mungkin karena perjalanan kali ini cukup panjang… Sesampainya di Balikpapan, kita harus melanjutkan perjalanan dengan ferry selama 2 jam yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat selama 4 jam.. Sesampainya di tujuan kita harus survey dan persiapan masuk ke pedalaman, semuanya itu dilakukan dalam satu hari.. So,YES! We gotta catch up the earliest flight as best as we can.. Karena kita dalam jadwal penerbangan pukul 06.30 WIB, jadi kita janjian di kantor TRANS 7 sekitar pukul 4 pagi..
Penerbangan paling pagi yang kita dapatkan adalah penerbangan ke Balikpapan dengan maskapai Garuda Indonesia yang kebetulan lagi promo (Yay!), jadi kita dapet tiket seharga Rp. 700.000/pax sudah termasuk makan pagiiiii… *Ooh, I love special package!* Pesawat berangkat pukul 07.00 pagi dari terminal F3 Bandara Internasional Soekarno Hatta, dan waktu tempuh Jakarta-Balikpapan adalah 1 jam 47 menit.. Karena kelelahan kurang tidur, jadi waktu selama di pesawat kami gunakan untuk istirahat secukupnya hingga tak terasa kami sudah mendarat di Bandara Sepinggan, Balikpapan pada pukul 09.15 WIB…
Ini kali pertama saya menjejakkan kaki di tanah Kalimantan, dan Kalimantan Timur merupakan provinsi pertama yang menjadi tujuan saya... Saya hirup dulu dalam-dalam udara Kalimantan seperti apa.. Ternyata suhunya cukup panas disana, secara gituuuu dekat dengan garis khatulistiwa.. Cuacanya pun lagi terik-teriknya, padahal masih jam 10an… Keluar dari terminal setelah mengambil semua bagasi, saya melihat disamping Bandara Sepinggan tengah dibangun flyover yang masih setengah jadi.. Rupanya kota Balikpapan sedang berkembang pesat seperti kota-kota besar lainnya di Kalimantan.. Balikpapan kadang suka ketuker dengan Samarinda perihal yang mana ibukota Kalimantan Timur… Samarinda-lah ibukota dari provinsi Kalimantan Timur.. Balikpapan merupakan kota besar yang maju di Kalimantan Timur..
![]() |
pembangunan flyover tepat disamping bandara Sepinggan, Balikpapan |
Sebelum pemekaran Provinsi Kalimantan Utara pada tanggal 25 Oktober 2012, Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia atau 11% dari total luas wilayah Indonesia..Kalimantan Timur terdiri dari 7 Kabupaten dan 3 Kota, dan penduduk aslinya adalah suku Dayak.. Nah, tujuan tim Jejak Petualang di Kalimantan Timur kali ini adalah Kabupaten Paser yang terletak di bagian selatan provinsi Kalimantan Timur.. Kabupaten Paser sendiri terdiri dari 10 kecamatan :
- Kec. Batu Engau
- Kec. Batu Sopang
- Kec. Kuaro
- Kec. Long Ikis
- Kec. Long Kali
- Kec. Muara Komam
- Kec. Muara Semu
- Kec. Pasir Belengkong
- Kec. Tanah Grogot
- Kec. Tanjung Harapan
Yang akan menjadi tujuan kita adalah kecamatan Batu Sopang (desa Kasungai dan desa Rantau Layung) dan Muara Komam (desa Swan Slutung). Namun dari 10 kecamatan tersebut, dari cerita pak Wijaya (fixer kami), kecamatan Tanah Grogot lah yang paling menarik perhatian kita.. Di kecamatan tersebut, bisa disebut dengan kecamatan UNGU! Kenapa? Karena disana mayoritas bangunan dan sarana pemerintah dibuat berwarna ungu! Dari jalanan trotoar, sekolah negeri, puskesmas, kantor kecamatan, kendaraan dinas, bahkan sampe perahu ketinting pun dibuat berwarna UNGU! Sebenarnya ga cuma di Tanah Grogot aja kita bisa menemukan fenomena Purple City seperti ini, tapi masih bisa dijumpai juga di seantero kabupaten Paser.. Tapi ya itu, paling banyak ditemukan di kecamatan Tanah Grogot.. Semuaaaaa serba UNGU! Makanya kalo sekali-kali mampir ke kabupaten Paser jangan lupa main ke kecamatan Tanah Grogot! :p
Anyway, untuk lebih lengkapnya mengenai Kalimantan Timur, kalian bisa klik disini.
Anyway, untuk lebih lengkapnya mengenai Kalimantan Timur, kalian bisa klik disini.
![]() |
Provinsi Kalimantan Timur berwarna kuning, letak Kabupaten Paser yang diarsir merah |
LANJUT KE CERITAAAA!
Bertolak dari Bandara pada pukul 10.00 WITA, sudah kebiasaan kami untuuuuuk ….. CARI MAKAAAN! Tepatnya makanan khas kota tujuan, Balikpapan… Namun tampaknya kita masih kebingungan nih cari makan makanan khas disini, jadinya karena dikejar waktu kami hanya sempet makan di Rumah Makan Banjar di Jl. Proklamasi, Balikpapan.. Kalo ada yang tau makanan khas Balikpapan kabar-kabarin yak! Siapa tau lain waktu liputan kesana lagi jadi ga bingung mau kemana… :D
Setelah makan siang, kami langsung menuju ke Pelabuhan Kariangau sekitar 1 jam dari pusat kota Balikpapan, dan langsung naik ferry menuju ke Pelabuhan Panajam… Biaya ferry-nya cukup merogoh kocek sebesar Rp.184.000/mobil, atau Rp.15.000/orang, namun kata driver kami harganya suka berubah-ubah, tergantung jenis ferrynya dan waktu naiknya... Dihibur dengan pemandangan kota Balikpapan dari kejauhan selama menaiki ferry, akhirnya tak terasa 1 jam kemudian, pukul 15.30 WITA kami berlabuh di pelabuhan Panajam..
Anyway, tujuan kita hari ini adalah kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur… Yap! Kita akan bertualaaaaaang di sekeliling kabupaten Paser selama hampir 2 minggu, sepanjang liputan.. Namun untuk hari pertama, kami akan bermalam dulu di rumah pak Debang, kerabat lama dari pak Wijaya yang sangat memahami wilayah kabupaten Paser.. Pak Debang inilah yang akan memandu kita selama liputan dimulai dari pedalaman desa Rantau Layung hingga mengantarkan kami ke pedalaman suku Dayak Muluy untuk tracking ke Gunung Lumut… So, buat kalian yang mau naik ke Gunung Lumut? Saran saya, cari saja pak Debang orangnya!
Untuk menuju ke Long Ikis memang membutuhkan waktu dan tenaga ekstra, apalagi buat yang datang jauh-jauh dari luar Kalimantan.. Setelah menempuh perjalanan udara dari Jakarta – Balikpapan, dilanjut naik ferry selama satu jam, dan masih menempuh perjalanan darat lagi selama 1.5 jam hingga akhirnya kita tiba di kecamatan Long Ikis.. Di rumah pak Debang lah kami merencanakan agenda liputan hingga matang dan malamnya di pasar induk kecamatan kami belanja logistik untuk liputan…
Keesokan paginya, di hari Minggu yang cerah kami siap berangkat untuk liputan hari pertama... Liputan hari ini ternyata lokasinya agar geser sedikit dari Long Ikis, yakni di desa Kasungai, kecamatan Batu Sopang, namun masih di kabupaten Paser.. Pukul 08.30 WITA kami menuju ke desa Kasungai yang jarak tempuhnya selama 1.5 jam dari Long Ikis.. Setibanya disana, kami disambut oleh kepala desa Kasungai yang siap membantu kami liputan di Gua Tengkorak nanti, namanya Pak Birun.. Yang paling saya ingat dari pak Kades yang satu ini sebenarnya adalah filosofis hidupnya.. Bisa dibilang desa Kasungai merupakan wilayah yang jauh dari perkotaan dan berada di antara belantara kebun kelapa sawit yang ada di kecamatan Batu Sopang, namun pemikiran pak Birun terbilang modern dan visioner. Bukan, bukan tentang ilmu politiknya mengingat dia seorang pemimpin desa.. Tapi lebih ke prinsip hidupnya tentang keluarga.. Pak Birun tampaknya mengutamakan keluarga di atas segalanya.. Ia sangat memikirkan pendidikan dan kesejahteraan anak-anaknya.. Dulu, sebelum menjabat sebagai kepala desa Kasungai, ia adalah kepala desa Rantau Buta, desa yang lebiiiih masuk ke pelosok dibandingkan desa Kasungai.. Namun fasilitas pendidikan di desa Rantau Buta tidak memadai, cuma ada 1 Sekolah Dasar disana, itupun tidak setiap hari gurunya bisa hadir untuk mengajar.. Paham dengan hal itu, pak Kades akhirnya memutuskan untuk turun ke bawah, ke desa Kasungai yang fasilitas pendidikannya lebih memadai... Akhirnya, ia dan keluarga menetap di desa tersebut hingga akhirnya ia terpilih menjadi Kepala Desa Kasungai yang baru.. Hingga akhirnya sang istri telah meninggal dunia, pak Birun pun tetap mengutamakan pendapat anak-anaknya saat ia memutuskan untuk menikah lagi.. Lucunya, ia punya sebuah prinsip yang bener juga kalo dipikir-pikir.. Prinsipnya, mencari pasangan itu seperti mencari channel gelombang radio.. Radio itu adalah calon pasangan, sementara gelombangnya adalah keluarga kita.. Jika gelombangnya tidak cocok, maka suara yang dihasilkan tidak akan bagus.. Maka ia mencari wanita yang pada akhirnya cocok dan diterima oleh kelima anak-anaknya, hingga akhirnya pak Birun menemukan istrinya yang sekarang ini…
Well, it was a great conversation then, meski singkat tapi penuh makna.. Karena waktu yang terbatas, selepas obrol-obrol ringan dengan pak Kade kita langsung turunkan bawaan ke dalam penginapan dan langsung survey ke Gua Tengkorak…
YEEESS! Liputan pertama kami : GUA TENGKORAK! Agak menakutkan pada awalnya, liputan sebelumnya di Biak bulan September lalu saya pernah juga membahas tentang tengkorak-tengkorak prajurit Jepang saat meletus Perang Dunia II dan sedikit mengalami gangguan kecil, jadi saat liputan Gua Tengkorak di desa Kasungai kali ini agak sedikit deg-degan juga… Tapi untungnya liputan berjalan lancar dan aman sentosa.. Fwuuuhh!
Untuk menuju ke Gua Tengkorak di desa Kasungai, hanya ada satu akses jalan darat dan saat kita hampir tiba di tujuan sekitar 300 meter dari Gua Tengkorak, kita tak bisa membawa kendaraan roda empat karena kita harus menyebrangi jembatan kayu yang hanya cukup untuk dilewati motor.. Setelah memarkirkan mobil di pinggir jembatan, kita menuju ke lokasi berjalan kaki.. Ternyata Gua Tengkorak itu letaknya tinggi di atas tebing batu cadas (sekitar 20 meter di atas permukaan tanah), yang jika kita tak jeli melihatnya mungkin kasat mata, karena lebar mulut guanya saja hanya sekitar 2 meter. Namun sekarang pemerintah telah menjadikan Gua Tengkorak sebagai objek wisata sehingga sekarang sudah dibuat pijakan anak tangga zig-zag dan atap yang melindungi gua tersebut.. Meskipun begitu, tidak dipungut biaya untuk sekedar mengunjungi gua yang letaknya persis di depan sungai Kasunge ini…
Bersama bapak Timbel, narasumber kita kali ini, ia kemudian mulai menceritakan sejarah dari Gua Tengkorak…Dahulu kala, warga di desa Kasungai ini menganut kepercayaan Kaharingan, kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan, ketika agama lain belum memasuki Kalimantan... Namun seiring dengan masuknya agama Islam disini, lambat laun warga memeluk agama Islam namun Gua Tengkorak masih tetap dijaga oleh warga sekitar sebagai warisan budaya dari kepercayaan Kaharingan yang ada di Kalimantan..
Dulu saat masih menganut paham animisme Kaharingan, warga Desa Kesungai yang telah meninggal mayatnya tidak dikubur, namun dibungkusa dan diletakkan dalam sebuah lubang kayu yang sengaja dibuat seperti peti mati. Proses pembungkusannya ini berlangsung sekitar setahun hingga jasadnya habis dan tinggal tersisa tengkorak dan kerangkanya, yang kemudian siap dipindahkan ke dalam gua. Sebelum dipindahkan, keluarga mengadakan pesta potong kerbau terlebih dahulu, baru kemudian tengkorak dan tulang belulang dipindahkan ke dalam gua.. Saat mengadakan pesta pemindahan kerangka, pesta tersebut diadakan besar-besaran, bahkan sampai mengundang warga di luar kampung untuk hadir.. Makanya, prosesi pemindahan kerangka ke dalam gua tidak dilakukan hanya untuk satu mayat saja tapi dalam jumlah banyak sekaligus.. Dulu guanya belum ada anak tangga menuju ke atas.. Dengan ketinggian gua sekitar 20 meter di atas tanah, kebayang ga bagaimana caranya orang jaman dulu ngangkat tulang-belulang untuk disemayamkan di gua??!
Setelah menaiki puluhan anak tangga dan tiba di pintu gua, sudah terlihat jejeran tengkorak di lantai gua.. Luas dari Gua Tengkorak tidak terlalu besar namun ternyata sanggup menampung sekitar 60 tengkorak dan tulang-belulang (!!!) yang diyakini oleh warga desa Kasungai adalah milik nenek moyang mereka.. Dengan tinggi hanya 1.5 meter, saya masuk ke gua dengan membungkuk.. Memasuki gua lebih dalam, saat dapat melihat ke atas, saya bisa melihat stalaktit dan stalagmit yang menghiasi atap gua, dan kondisi mencekam sedikit terasa di dalam.. Kondisi tengkorak yang ada di Gua Tengkorak sebagian masih utuh, namun ada pula yang sudah pecah.. Di lantai gua tersusun rapi tengkorak-tengkorak dan tulang belulang bertebaran di sekelilingnya.. Warga disini meyakini untuk tidak menyentuh, memindahkan atau bahkan mencuri tengkorak dan tulang belulang yang ada di gua ini karena akan membawa malapetaka, jadi saya cuma melihat pak Timbel menebar sesajen berupa beras kuning dan kembang 7 rupa aja dari kejauhan di mulut gua… Hiiiiiii…
Banyak cerita yang saya dapatkan dari warga disini.. Salah satunya pernah ada orang asing yg datang dari luar desa hendak mencuri kerangka dari Gua Tengkorak, dari pertama niat buruknya itu sudah dilarang oleh warga desa, namun ia bersikeras ingin mengambil salah satu tengkoraknya.. Karena satu-satunya akses jalan darat sudah dihadang oleh warga desa, ia memilih kabur lewat jalur sungai Kasungai, tetap dengan membawa tengkorak dari gua tersebut, namun naas kesialan menimpanya.. Keesokan harinya ia ditemukan sudah tidak bernyawa karena hanyut disungai…
Sekarang Gua Tengkorak ini, bersama dengan Gua Loyang, masih dijaga kelestariannya sebagai objek wisata warisan budaya di desa Kasungai, Kab. Paser, Kalimantan Timur.. Bahkan masih banyak masyarakatnya yg memberikan upeti atau sesajen berupa beras kuning, kuntum bunga, minyak wangi-wangian bahkan rokok sebagai pembayaran nazar mereka saat keinginan mereka terpenuhi.. Yang saya sayangkan, tepat di depan gua tengkorak ini sedang ada proses pembangunan kolam pemandian dan kolam pemancingan besar-besaran.. Memang belum jadi sih karena sekarang masih dalam proses pembangunan, tapi kalo udah jadi pasti bakal jadi rame banget dan situs Gua Tengkorak ditakutkan akan terpinggirkan.. :(
Subscribe to:
Posts (Atom)