Rabu pagi, 28 Agustus 2013, kita
udah siap2 mau berangkat pertama kalinya ke pulau Wundi, di kepulauan Padaido.
Ya, kepulauan Padaido adalah tujuan pertama kami. Sering denger nama kepulauan
ini nggak? Jadi ternyata Indonesia ga cuma punya kepulauan Seribu atau
kepulauan Togean aja yang terkenal dengan wisata baharinya, tapi di ujung timur
sini, kita punya kepulauan Padaido yang potensial akan wisata sejarah dan
wisata bahari.
Oke, saya bahas dulu tentang
kepulauan yang masih masuk ke dalam kabupaten Biak Numfor ini yak… Kepulauan
Padaido itu terletak di tenggara pulau Biak, dan terdiri dari gugusan
pulau-pulau kecil dan sebagian besar tidak berpenghuni. Beberapa pulau
diantaranya Pulau Wundi, Auki, Inbeyomi, Mbromsi, Meos, Mangguandi, Nusi, Nusi
Babaruk, Nyansoren, Padaidori, Pai, Pasi, Samber Pasi, Sandedori, Saribra,
Sasari, Sorina, Supraima dan Yeri.
![]() |
Peta Kepulauan Biak |
Adapun masih ada pulau yang
dihuni oleh masyarakat Padaido namun memiliki keterbatasan sumber daya alam
karena lahannya 100% terdiri dari hutan bakau dan pasir putih, jadi tidak bisa
digunakan untuk bercocok tanam sehingga masyarakat kepulauan Padaido sangat
menggantungkan kebutuhan pangannya dari hasil laut di perairan Biak. Pasokan
air bersih pun masih memanfaatkan penampungan air hujan namun listrik sudah
tersedia disini meski terbatas dalam bentuk solar cell yang disediakan oleh
pemerintah kabupaten.
Kepulauan Padaido banyak
menyimpan cerita sejarah yang tersimpan rapi tentang Perang Dunia II. Ga heran,
dulu pulau Biak dijadikan markas persembunyian tentara Jepang selama PD II
berlangsung, dan beberapa pulau di kepulauan Padaido dijadikan basis pertahanan
tentara sekutu Amerika, khususnya pulau Owi yang dijadikan landasan pesawat Angkatan Udara dan pulau Wundi sebagai markas Angkatan Darat tentara sekutu AS.
Padahal jarak antara pulau Biak
dan kepulauan Padaido itu dekeeeet bgt! Namun akhirnya Jepang kalah oleh Sekutu
karena markasnya di pulau Biak digempur habis-habisan lewat udara… Tentara
Sekutu melemparkan bom dalam jumlah massal ke gua-gua yang dijadikan tempat
persembunyian tentara Jepang.. The rest was history, yang tersisa sekarang
tinggal gua-gua tak berpenghuni yang didalamnya tertimbun ribuan tentara Jepang
korban kejamnya Perang Dunia II. Tapi kali ini saya ga akan cerita banyak tentang
sejarah di Biak, tapi mau bahas tentang serunya liputan di kepulauan Padaido
selama 4 hari ke depan! Dan pulau tujuan saya kali ini adalah : PULAU WUNDI!
![]() |
Peta Kepulauan Padaido |
Tim Jejak Petualang berangkat ke
pulau Wundi sekitar pukul 10.00 WIB dari pelabuhan TipTop, menyewa perahu boat
milik keluarga Morin yang tinggalnya ga jauh dari pelabuhan. Waktu perjalanan
yang ditempuh adalah 1 jam. Dengan kecepatan mesin 40 pk, sudah cukup membuat
kita terombang-ambing dengan arusnya yang cukup kuat saat itu. Dari kejauhan
pulau yang dituju sudah mulai tampak. Terlihat dari perairan yang awalnya
berwarna biru gelap, perlahan berubah menjadi hijau terang, tanda kedalamannya
mulai mendekati dangkal, hingga mesin boat pun harus dimatikan agar tidak tersangkut
terumbu karang atau lamun yang mengambang. Airnya itu loooooh, ijoooooo banget!
Bawaannya pingin nyemplung aja! Tapi akhirnya saya harus menahan diri karena baju harus
kering buat liputan.. T__T (btw, akhirnya kesampean buat nyemplung ke laut bebas dengan BAJU LENGKAP saat semua proses syuting di pulau Wundi kelaaaar, 6 hari kemudian!! Hahaha)
Akhirnya
tiba di bibir pantai, kami langsung disambut oleh seorang anak yang tengah
menggendong adiknya yang masih kecil. Dia tampak terheran dengan kami, entah,
mungkin kami masih keliatan asing baginya.. Saat awak perahu sibuk memasang
jangkar dan teman-teman lain bersiap-siap, saya langsung turun dari kapal untuk
menghampiri anak itu. Lukas namanya. Dia tampak senang saya hampiri, terlihat
dari sunggingan senyum di bibirnya saat saya ajak bicara. Namun adiknya
terlihat lebih tertutup dari Lukas. Saat saya ajak bicara dia malu untuk
menjawab, hihihi… Kami kemudian masuk lebih ke dalam untuk bertemu dengan
penduduk asli di pulau Wundi. Kebetulan, siang itu warga di pulau Wundi tengah
berkumpul di depan rumah, yang tampaknya itu rumah salah satu sesepuh di pulau
Wundi. Kalo kata anak jaman sekarang mah, istilahnya basecamp gituuuh hehehe… Kebanyakan yang ngumpul itu para mama2,
sedang ngobrol-ngobrol sambil persiapan masak untuk makan siang. Sedangkan
laki-lakinya tengah sibuk pergi melaut. Ya, mayoritas penduduk di pulau Wundi
menggantungkan hidupnya dari hasil laut di perairan Biak dengan mencari ikan,
gurita, kerang, dsb untuk kemudian dijual ke pasar Bosnik setiap selasa, kamis
dan sabtu. Tidak cuma laki-laki dewasa, tapi anak laki-laki berusia 8 tahun pun
disini sudah jago molo ikan. Istilahnya, tidak ada anak-anak disini yang tidak
memiliki kacamata molo. Mereka sudah terlatih sejak kecil karena hidup di
pesisir pantai. Bahkan di hari terakhir saya syuting di pulau Wundi, mereka
semangat sekali ngajak molo ikan di pantai pulau Wundi.. Bahkan ada seorang
anak pulau Wundi, saya lupa namanya (dan saya nyesel banget!), selalu nempel ke
saya dan selalu bertanya, “kapan kita molo ikan?”, dengan senyum lebarnya..
Sampai sekarang saya masih sangat ingat senyumannya, dan kadang rasa sesal
masih terasa di hati karena tidak meluangkan banyak waktu bermain-main bersama
mereka…
Ini anak yang selalu nempel ke saya dan ngajak saya bermain ke laut terus.. Maaf ya dek, kak Nana ga meluangkan waktu lebih banyak buat kamu dan kawan2… :’) |
Gurita itu ternyata habitatnya suka
ngumpet di balik batu2an di perairan dangkal, dan umumnya mereka punya rumah
alias ga hidup nomaden.. Jadi sejauh apapun dia jalan2, pasti bakal balik ke
rumah persembunyiannya itu.. Sewaktu saya dan mama Anculina berburu gurita,
kami menemukan gerak-gerak yang khas dari hewan berlengan 8 ini.. Lengannya
goyang-goyang mengikuti arus laut yang naik turun! Hihihi… dan ternyata pas
kita lebih mendekat, gurita tersebut juga sedang diincar oleh ular laut!
Ohya, ini nih yang kadang suka
salah persepsi. Kebanyakan orang menyebut gurita memiliki tentakel, padahal itu
bukan tentakel, tapi LENGAN.. Yess, gurita memiliki 8 lengan yang disepanjang
lengannya terdapat alat penghisap (suction) yang digunakan buat bergerak dan
menangkap mangsa.. Beda dengan tentakel yang cuma memiliki alat penghisap
diujungnya doing.. Nah, alat hisap pada lengan gurita ini dilengkapi sama yang
namanya kemoreseptor sehingga gurita bisa merasakan benda yang disentuh..
Ayo yang masih inget pelajaran
biologi, gurita itu termasuk filum dan kelas apa? Kalo ga bisa jawab harus
ngulang kelas lagi yak hahaha.. Yak, gurita termasuk ke dalam Filum Molusca dan
Kelas Cephalopoda (kaki hewan terletak di kepala).. Meskipun sama-sama di kelas
Cephalopoda, gurita ga punya cangkang luar seperti Nautilus dan juga ga punya
cangkang dalam seperti sotong dan cumi-cumi.. Yang dijadikan sebagai alat
pertahanan gurita adalah paruhnya yang keras berwarna kehitaman dan bentuknya
kayak paruh burung, kerap digunakan untuk membunuh mangsa dan memotongnya
menjadi bagian-bagian kecil..
Nah yang saya takjub nih, gurita
merupakan hewan laut yang punya banyak senjata pertahanan diri, di antaranya :
kantong tinta, kamuflase dengan meniru lingkungan sekitar, dan…. MEMUTUSKAN
LENGAN! Saya baru tau kalo ga cuma cicak aja yang bisa mutusin bagian tubuhnya
kalo keadaan terdesak, gurita juga bisaaa! Kalo saya mah, tampaknya baru bisa
mutusin
sebuah-hubungan-yang-tampaknya-ga-bisa-dijalanin-lagi-karena-entah-ini-kita-mau-kemana-arahnya
(………)
Singkat cerita, setelah nyelem
sekitar 1 jaman akhirnya kita dapat 2 ekor gurita yang akan dimasak langsung
bersama mama-mama di pulau Wundi.. Kali ini saya diajak mama Anculina dan mama
Sephina untuk memasak gurita ala Biak dengan cara difufu atau diasap.. Eh, kalo
bahasa Biaknya : KOKABEN! Artinya diasap.. Pertama-tama guritanya direbus dulu
sekitar 5 menitan gitu sampe warnanya berubah kemerah2an.. Nah, gurita yang
udah direbus ini sebenarnya udah bisa layak makan, cuma biar lebih nendang mau
kita asapi selama, ga nanggung2, 24 JAM! Hahaha.. iya betuuuul, 24 jam meeen
kata mama Sephina.. Cuma untuuuung aja mama Sephina punya stok gurita asap yang
udah matang.. Kita ga perlu nunggu selama itu buat ambil gambar gurita pas udah
matangnya.. HAH!
Bagi masyarakat kepulauan Padaido, membuat gurita asap sudah menjadi
kebiasaan mereka sehari-hari karena makanan tersebut kerap dijadikan bekal
selama mereka melaut berhari-hari.. Pas saya liputan di Lamalera, NTT,
masyarakat disana yang juga menggantungkan hidupnya dari hasil laut, biasa
mengasapi daging ikan paus untuk stok makanan mereka.. Tapi tujuannya bukan
untuk bekal melaut dalam waktu yang lama, namun karena di Lamalera sering
terjadi musim barat atau musim paceklik yang terkadang membuat mereka tidak
bisa mendapatkan bahan makanan yang mencukupi, sehingga masyarakat Lamalera
kerap menyimpan stok makanan seperti daging paus asap yang disimpan di
langit-langit dapur mereka.
Akhirnya, ga menunggu waktu lama,
saya langsung bisa mencicipi gurita asap yang langsung saya dapatkan dari
perairan laut Padaido di Biak.. Ternyata selama saya liputan mengasapi gurita,
sudah banyak anak-anak di pulau Wundi yang ngumpul ingin melihat… Udah
lama-lama melihat proses syuting, sekalian aja saya ajak mereka buat nyicipin
gurita asap olahan saya dan mama Sephina! Dan kesan makan gurita itu …… ALOT!
Hahaha.. Alot, kenyal tapi gurihnya bikin nagih.. karena saya emang suka makan
seafood, ga keitung deh saya abis berapa potong gurita saat itu.. Tapi dari itu
semua, yang saya dapatkan hari ini bukan cuma nikmatnya menyantap gurita asap,
tapi serunya seharian penuh beraktivitas bersama masyarakat pulau Wundi, dan
menyelami kehidupan mereka sehari-hari.. Mengamati senyuman di wajah mereka
yang tampak lepas dan tanpa beban, menyadarkan saya bahwa kebahagiaan itu amat sangat relatif.. Terlepas dari jauhnya
kehidupan mereka dari modernisasi, mereka pun bisa memiliki kebahagiaan yang
belum tentu dimiliki oleh orang perkotaan.. :)
"Mengamati senyuman di wajah mereka yang tampak lepas dan tanpa beban, menyadarkan saya bahwa kebahagiaan itu amat sangat relatif.. Terlepas dari jauhnya kehidupan mereka dari modernisasi, mereka pun bisa memiliki kebahagiaan yang belum tentu dimiliki oleh orang perkotaan.."
Ini segment pas saya berburu dan makan gurita! :3
CATATAN :
- Untuk mencapai ke pulau Wundi jaraknya sekitar 1 jam perjalanan dengan kapal boat 40 PK
- Kapal boat yang menuju ke kepulauan Padaido banyak ditemukan di pelabuhan TipTop, namun tim Jejak Petualang kemarin menyewa kapal boat milik keluarga Morin (yang tinggalnya tidak jauh dari pelabuhan TipTop) dengan harga Rp.2.000.000/hari
- Jika mengunjungi kepulauan Padaido dan singgah di suatu pulau berpenghuni, ada baiknya kita membawa buah tangan, seperti sembako atau SIRIH PINANG! Mama2 disana suka sekali sirih pinang, namun karena tanah di kepulauan Padaido tidak cocok ditanami tanaman maka mereka biasanya mendapatkannya saat menyebrang ke kota..
- Saran saya, cukup bawa BERAS, BERAS, dan BERAS! Disana bahan makanan seperti ikan, cumi, gurita dan hasil lautnya mudah dicari.. Serunya, kita bisa ikut mencari ikan dengan tombak atau molo ikan buat lauk makan siang.. Lebih kerasa nikmatnya! xD
- Air laut di kepulauan Padaido memiliki salinitas lebih tinggi dari air laut pada umumnya dan sunlight (sinar matahari) disini cukup mentereng hingga bisa bikin kulit gosong hanya dalam beberapa jam saja.. DIsarankan bawa sunscreen atau tabir surya kalo ga mau kulit gosong seketika!
No comments:
Post a Comment